Mengapa -mengenal Allah- perlu kesusasteraan?

Mengapa perlu kesusasteraan untuk mengenal Allah?

Ketika kita berhubungan dengan hal-hal yang paling mendalam dalam hidup kita, kita seolah-olah kehilangan kata-kata, tidak bisa berbicara.  Kita perlu suatu seni tulisan untuk menyampaikan sesuatu yang sangat mendalam dan tidak terbatas  waktu. Untuk itulah manusia menggunakan keindahan yang menyentuh tidak hanya akal budi tetapi juga rasa. Dari situlah manusia mempunyai dan mengembangkan kemampuan bersastra.

Sastra artinya  seni menulis. Susastera artinya tulisan yang indah. Kesusasteraan adalah seni menyampaikan gagasan dalam tulisan yang indah. Puisi adalah satu jenis kesusasteraan.

Mari kita perhatikan satu larik puisi ini:

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.” MAZMUR 139:13

Seberapa dalam pesan dalam larik puisi ini masuk dalam pemahaman anda?

Apakah maknanya hanya sampai di pikiran anda saja, atau masuk langsung ke hati anda? Atau, apakah hati tempat roh anda terasa menggelepar?

Syukurlah jika hati tempat roh anda menggelepar seperti seekor merpati yang tersentuh lembut.

Sebaliknya dari pemahaman itu, apakah ada pertanyaan bagaimana caranya TUHAN  menenun aku sebagai manusia di dalam kandungan ibuku? Apakah tangan TUHAN masuk ke dalam kandungan ibuku? Mengapa TUHAN hanya membentuk buah pinggangku ( ginjal )? Mengapa tidak sekaligus TUHAN berkata: “Jadilah manusia!” ketika menciptakan aku, dan  terjadilah manusia utuh seperti aku sekarang ini? Bukankah TUHAN maha kuasa, mengapa bersusah payah selama 9 bulan menenun aku di dalam kandungan ibuku? Jika anda bertanya begitu bisa jadi pesan penulis tidak sampai pada anda.

Dari larik  Mazmur 139:13 itu tidakkah anda terbayang suatu ungkapan penuh kasih, perhatian, perlindungan, kehati-hatian, kesan tidak serampangan pada proses penciptaan manusia ( diriku ) dari pihak Allah?

Tidakkah  anda merasakan,  bahwa anda diistimewakan oleh TUHAN ketika diciptakan? Anda adalah khusus, bahkan kudus, ketika anda diciptakan sebelum lahir ke dunia. TUHAN memberi perhatian selama 9 bulan kepada aku ( manusia ) ketika di dalam kandungan. 

Masih banyak lagi makna dan pesan yang bisa tak terbatas banyaknya, yang bisa muncul di dalam diri anda ketika membaca larik Mazmur 139:13 itu. Itulah tulisan yang indah. Itulah puisi atau susastera.

Menarik untuk dicatat bahwa semakin penting suatu hal bagi kita, semakin besar kecenderungan kita untuk mengungkapkannya dalam bentuk puisi atau tulisan lain yang bukan ilmiah. Pola-pola tulisan ilmiah lebih menggunakan bahasa yang lugas dan hanya sesuai untuk laboratorium atau laporan kerja. 

Namun, ketika kita berhubungan dengan hal-hal yang paling mendalam dalam hidup kita, kita seolah-olah kehilangan kata-kata, tidak bisa berbicara. Terutama yang berhubungan dengan TUHAN. Dan biasanya kita berpaling kepada puisi, gambar-gambar, simbol-simbol, atau sebuah lagu. Bahkan irama puisi dan lagu dalam keteraturan bisa menggerakkan hati kita seirama alunan alam atau TUHAN.

Kitab Suci berhubungan erat dengan kehidupan dan kematian, cinta dan kebencian, baik dan buruk, Tuhan dan bukan tuhan. Bila Kitab Suci hanya sebatas pada bahasa ilmiah maka ia tidak mampu mengungkap persoalan-persoalan besar itu.

Apa jadinya jika kita tidak mengenal kesusasteraan ketika membaca larik-larik atau ayat-ayat kitab suci? Ketika kitab suci dibaca sebagai buku sejarah atau hukum atau laporan ilmiah belaka? 

Misalnya larik baris-baris Mazmur di bawah ini?

[Mazmur 137:8-9]

8Hai puteri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kau lakukan kepada kami!

9Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!

Apakah larik-larik pada Mazmur 137:8-9 menganjurkan untuk melakukan pembalasan dengan suatu tindakan kekerasan?

Bahasa susastera menggerakkan intuisi manusia, bahkan bisa menyentuh roh atau menghantarkan Hembusan Nafas Ilahi ketika membaca ayat-ayat Kitab Suci.

Satu respons untuk “Mengapa -mengenal Allah- perlu kesusasteraan?

Tinggalkan komentar